EditorialNews

Permen LHK no.20/2018 sebuah “Kepanikan” Pemerintah?

Munculnya peraturan Mentri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen), tanggal 11 Juli 2018. Telah mengagetkan masyarakat kecil yang mengandalkan mata pencahariannya di dunia burung. Mulai dari pedagang burung, pedagang pakan, pengrajin sangkar sampai masyarakat yang selama ini suka memanfaatkan burung sebagai hobi untuk lomba.

Bagaimana tidak, tanpa ada sosialisasi tiba-tiba dalam Permen tersebut memasukkan beberapa burung jenis yang selama ini banyak diperdagangkan untuk lomba kedalam daftar burung yang dilindungi.

Inilah yang meresahkan masyarakat perburungan, ditambah dengan adanya kabar penindakkan seorang pedagang burung Cucak Hijau di Banyuwangi, yang kemudian tersebar luas lewat Medsos. Membuat orang mulai takut memelihara kedua burung tersebut. Akibatnya pasar burung dibeberapa daerah terlihat lenggang. Pedagang maupun penghobi burung yang biasa jual beli antar pulau melalui bandara sudah tidak bisa. Karena karantina sudah melarangnya, meskipun burung tersebut ada ring.

Dan dampaknya pun langsung dirasakan oleh banyak pihak, wajar kalau mereka menyuarakan penolakan Permen 20/18 melalui demo dibanyak daerah. Karena konsekwensi diberlakukanya Permen 20/18 cukup luas dan dampaknya nanti sangat memberatkan para pedagang dan peternak. Misalkan peternak, harus ada ijin lingkungan, harus punya SIUP, harus punya NPWP dan persyaratan lain yang memberatkan.

Kalaupun akhirnya perijinan nanti dijanjikan akan dipermudah semuanya melalui online. Itu kan masih janji. Harusnya infrastruktur perijinan dimudahkan dulu, pembinaan pada peternak diberikan, sosialisasi pada pedagang digencarkan. Baru kalau peternak, pedagang, kicaumania sudah siap, silahkan Permen diberlakukan, bukan dibalik seperti sekarang yang sepertinya memperlihatkan “kepanikan pemerintah” dalam upaya menjaga pelestarian burung dihabitat aslinya.

Penebangan hutan liar, sangat merusak ekosistem

Padahal kalau pemerintah mengetahui bagaimana populasi Murai Batu dipeternak, barangkali tidak akan memasukkan Murai Batu dalam daftar burung yang dilindungi. Demikian pula dengan Jalak Suren atau Curik Bali. Populasi dimasyarakat sangat banyak, dan itu semua hasil jerih payah para penangkar yang nota benenya tidak pernah mendapat bantuan dana dari pemerintah, tapi pengapa mereka selalu jadi korban dari peraturan?

Baca Juga :  Ringankan Beban Kicaumania Di Tengah PPKM Darurat, PBI Kab. Kediri Gelar Bansos

Kalau Pemerintah berkeinginan menambah populasi ketiga burung tersebut dihabitat aslinya tidak harus dengan Permen, minta saja atau beli atau terbitkan aturan yang mewajibkan peternak menyisihkan berapa persen dari hasil tangkaran untuk dilepas liarkan, saya yakin peternak dengan senang hati memberinya. Dan kalau itu dilakukan dalam waktu singkat hutan tersebut akan menjadi seperti kebun binatang, karena ribuan jumlahnya.

Ingat, keinginan melestarikan burung itu bukan hanya pemerintah saja. Peternak, penghobi bahkan organisasi diperburungan sebenarnya juga punya keinginan yang sama. Yaitu ingin ikut berpartisipasi dalam melestarikan burung agar dihabitat aslinya tidak punah. Tapi dengan munculnya Permen 20/18 itu kok seakan-akan mengambat kretifitas peternak yang ingin mengembangkan usahanya, dan seakan akan yang menjadi sasaran masyarakat kecil.

Andaikata pemerintah mau belajar dari diterbitkannya Undang-Undan no.5 tahun 1990. Dimana Curik Bali, kemudian Jalak Suren masuk dalam daftar burung yang dilindungi. Tapi nyatanya populasi dihabitat aslinya tidak meningkat sebagaimana yang diharapkan. Padahal dana konservasi yang digelontorkan pemerintah untuk melestarikan Curik Bali tiap tahun sejak tahun 90 an cukup besar.

Demikian pula yang ditangkarkan di kebun binatang atau badan konservasi yang mendapat ijin pemerintah. Hasilnya juga tidak sebaik oleh yang dilakukan banyak peternak, yang lepas dari bantuan dan binaan pemerintah. Andaikata tahun 90 an peternak Jalak Bali dipermudah ijinnya dan dibantu pendanaan serta pemasaranya. Bukan tidak mungkin, Jalak Bali yang langka saat itu, sekarang sudah diperjual belikan seperti ayam kampung dipasar. Hal itu karena populasinya yang sangat banyak dan harganya tentu sudah murah.

Hutan yang asri, ekosistem akan terjaga dengan baik

Kemudian masih ingat kita ditahun 2004 saat boming Jalak Suren, sampai sepasang indukan bisa tembus Rp 8 juta. Anakan makan sendiri bisa sampai Rp 1 juta lebih. Saat itu ratusan peternak di Solo, Klaten, Jogja, Salatiga dan kota-kota lain di Jawa timur, Bali banyak yang sukses. Dan mereka mendapat indukan dari hasil penangkaran, bukan dari tangkap dihutan. Begitu cepatnya anakan yang dihasilkan para peternak hingga membuat over produksi. Yang barakhir produk ternakan meluber dimasyarakat, sampai pasar jenuh dan harga kembali melorot tajam. Dimana peran pemerintah saat itu?

Baca Juga :  Dirjen KSDAE Wiratno : Permen 20 tahun 2018, Tidak Berlaku Surut

Lagi-lagi andaikata booming Jalak Suren saat itu tidak ditangkap pemerintah. Sebagai momentum untuk melestarikan dihabitat aslinya. Dengan melepasliarkan hasil tangkaran di habitat aslinya, saya yakin hutan di jawa akan penuh dengan Jalak Suren.

Kembali pada Permen 20/18, kalau pemerintah ingin menjaga pelestarian burung sebenarnya banyak cara-cara kompromi atau cara elegan yang bisa ditempuh, tidak harus menerbitkan Permen pelarangan. Karena kalau langsung mengelurkan peraturan pelarangan kok sepertinya pemerintah cari mudahnya saja. Seakan tutup mata dengan semangat para peternak dalam membantu pemerintah melestarikan burung kicauan. Menutup mata terhadap semangat beberapa organisasi Pelestari Burung yang ikut mengkampanyekan pelestarian burung dengan membina peternak, menyalurkan hasil tangkaran agar bisa diterima dilomba dan sebagainya.

Alangkah bijaknya bila Permen 20/18 tersebut untuk sementara dicabut, diganti dengan langkah nyata pemerintah mendorong, membina dan membantu para peternak. Dalam menangkarkan burung-burung yang akan punah. Saya yakin peternak kita peternak handal, meski mereka bukan ahlinya di dunia burung, tidak memiliki titel sarjana didunia hewan. Tapi keterampilan mereka dalam menangkar bisa melebihi seorang ahli burung. Bahkan sudah dibuktikan banyak penangkar Jalak Bali yang sukses melebihi keberhasilan Kebun Binatang atau lembaga konservasi yang mendapat ijin pemerintah.

* Wahyu Dwi W. (penulis adalah kader konservasi sumberdaya alam tingkat madya no.16.723/05/257/D.26/II/89. Anggota Klub Indonesia Hijau, penggemar Bird Waching, Rimbawan, pimred tabloid Agrobur)

Related Articles

Back to top button