Juri Madya PBI Bali Iswahyudi Berpulang: Tanamkan Semangat Idealisme, Selamat Jalan Pak Uban
Jumat sore, 22 Februari 2019 kamarin, beberapa kicau mania bergegas memasuki areal gantangan Pondok Indah untuk mengikuti Jumat ceria. Suasana masih lengang, beberapa panitia mempersiapkan sarana menyambut peserta. Tiba-tiba Wahyudi menerima telepon dari Rumah Sakit Wangaya Denpasar yang menginformasikan Iswahyudi dalam kondisi kritis. Tanpa pikir panjang Wahyudi langsung bergegas menuju Wangaya. Beberapa menit kemudian MC Eko Suliono menerima telepon dari Wahyudi yang menyatakan bahwa Iswahyudi alias Pak Uban telah meninggal. Innalillahi wainailaihi roji’un.
Kemarin sore, kicau mania Bali, khususnya segenap keluarga besar PBI telah kehilangan seorang juri terbaik PBI Bali. Sudah lebih dari dua dasa warsa Iswahyudi mengabdikan diri sebagai juri. Dari lomba masih sepi hingga gemebyar hari ini. Namun hingar-bingar dunia perburungan yang bisa menggoda nurani tidak mengubah komitmen pada sebuah keyakinan diri. Bahwa hidup ini hanya sekali. ‘’Untuk apa saya membohongi mereka yang sama-sama membayar tiket, salah saya,’’ begitu Iswahyudi pada satu kesempatan ketika berbincang dengan kontesburung.com.
Keteguhan hati pada kejujuran dalam menunaikan tugas seringkali mengancam dirinya. Namun Pak Uban tidak pernah pupus menegakkan fairplay di lapangan. Meski harus menanggung konsekuensi dalam menjalani hidup.
Sejak mengabdikan diri sebagai juri yang terakhir berstatus madya hingga Allah menjemput, Iswahyudi masih berada di bawah atap rumah kontrakan bersama istri yang setia dan dua anak serta seorang cucu yang sudah berumur dua tahun. Sehari-hari Iswahyudi masih membawa sepeda motor butut hingga terbaring sakit akibat komplikasi gula darah – paru-paru dan terakhir jatuh yang mengakibatkan patah tulang kaki.
Ketika Konbur berbincang dengan almarhum di Rumah Sakit Wangaya didampingi istri dan putrinya yang masih duduk di bangku SMP beberapa hari sebelum berpulang, almarhum masih penuh semangat mengingatkan betapa pentingnya memegang teguh sebuah moralitas sebagai juri dan juga dalam kehidupan lainnya. Ia salut kepada juri-juri muda yang kini sudah berani mengambil keputusan sesuai hati nurani. ‘’Saya bangga pada mereka,’’ ucap almarhum terbata-bata sambil meneteskan air mata.
Seperti tidak terasa sakitnya kaki yang dibandrol pemberat dan juga sesak dadanya, almarhum penuh syukur sebagai manusia justru ketika terbaring sakit. Sejak almarhum mulai jatuh sakit sejak beberapa bulan hingga detik-detik terakhir menghirup udara duniawi, simpati para kicau mania Bali terus mengalir. Tidak saja dari kalangan PBI tetapi dari seluruh EO yang ada di Bali. Almarhum sempat menangis menceritakan rekan-rekan burung yang banyak menjenguk bahkan banyak yang tidak dikenalnya. ‘’Banyak yang tidak saya kenal, mungkin burungnya tidak bisa saya juarakan, tetapi mereka datang melihat saya di sini,’’ ujar almarhum sambil melanjutkan dengan nada pelan, apa yang bisa saya lakukan, apa yang saya pakai untuk membalas, hanya doa, semoga mereka diberikan rezeki yang melimpah.
Siang itu, pertemuan terakhir Konbur dengan almarhum. Hingga, Jumat 22 Februari 2019 kemarin, almarhum meninggalkan kita semua. Hanya semangat idealisme yang dititipkan lewat rekam jejaknya ketika bertugas di lapangan. Almarhum diantar langsung pentolan EO dan kicau mania Bali menuju peristirahatan terakhirnya di Pemakaman Muslim Wanasari Maruti 13 Denpasar. Ketua Pengda PBI Bali Mr. Fadjar Soebagio mewakili keluarga almarhum, keluarga besar PBI mengucapkan terimakasih yang setinggi-tingginya kepada semua pihak yang sudah memberi perhatian yang tulus dan membantu almarhum seraya memohon maaf yang sebesar-besarnya jika selama almarhum masih ada melakukan sesuatu hal-hal yang kurang berkenan. SELAMAT JALAN PAK UBAN. Innalillahi wainailaihi roji’un. *kb3